Minggu, 21 September 2008

berbagai sisi




"Ibu. Maulana kakinya sobek dalam!!" beberapa anak lari2 mendekatiku.
"Kenapa?" tanyaku agak kaget saat melihat beberapa anak menggotong seorang anak, sementara suara tangis keras melengking terdengar saat itu.
"Tadi kakinya kejepit ayun-ayunan. Kena sendiri kok Bu...!" jelas seorang anak.
Karena sedikit panik aku segera berlari menyambut anak yang "digotong"oleh teman2nya tersebut. Aku segera "membopong" anak tadi dan membawanya keluar dari kerumanan anak2 yang berusaha untuk melihatnya.
"Tolong yang lain bubar!" tetap saja anak2 yang berkerumun tidak mengindahkan permintaanku.
Sementara Maulana tangisnya semakin keras. Aku melihat Maulana kaki yang "terluka". Meski tidak mengeluarkan darah, tapi kaki yang "terjepit" ayunan itu nampak "pingget" (dan menurutku memang telalu dalam).
"Tolong yang lain bubar, Ibu mau lewat!" kataku lagi. dan kali ini beberapa anak bubar. Tapi bukannya bubar begitu saja, tapi mereka bubar untuk pergi dan memberitahukan kepada anak2 lain. Keruman anakpun makin banyak, sehingga mereka menghalangi langkahku. Jarak lapangan dengan kantor memang cukup jauh. Akhirnya aku "menurunkan" Maulana di atas sebuah batu, dan menyuruh seorang anak untuk ke kantor mengambil "Tas PP".
"Ayo bubar....!! jangan di sini!!" kataku sedikit membentak.

Sementara kabar tentang "kecelakaan" itu sampai juga ke kantor. Buktinya tidak selang berapa menit aku menerima kantor.
"Bu, kata Irdi ada anakmu yang kakinya patah? benarkah?"
"Tidak patah Bu, cuma luka kecil karena terjepit ayunan di lapangan sebelah. " aku berusaha menenangkan suara penelepon yang terdengar panik itu.
Dan kabar "kecelakaan" semakin meluas. Bahkan kecelakaan kecil itu akhirnya menjadi berita yang besar di kalangan anak2. Ada yang menyebutkan kakinya Maulana patah, sobek, berlubang, dan banyak hal mengerikan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Meski sudah saya jelaskan, tetapi penilaian anak saat melihat kondisi kaki Maulana menjadi berbeda dari kondisi yang sebenarnya. Ya mereka menggunakan bahasa "anak2" untuk melukiskan apa yang mereka lihat.
Anak2 itu belum mengerti kondisi dibalik "penglihatan" mereka.
Seringkali kita juga tidak berbeda dengan anak2 itu. Terkadang saat kita melihat sebuah kenyataan hidup, kita terlalu "melebih-lebihkan" kenyataan itu. Kita tidak mampu melihat kondisi "dibalik" kenyataan itu. Padahal kenyataan "buruk" sekalipun, terkadang tak seburuk yang kita rasakan dan kita lihat.
Kita juga harus belajar melihat sebuah kenyataan dari berbagai sisi. Ibarat melihat telapak tangan. Jika kita hanya melihat dari sisi luarnya saja, maka kita akan mengatakan jika telapak tangan berwarna hitam atau coklat. Tapi lihatlah juga sisi dalam telapak tangan!! Sudah paham maksudnya?

Selasa, 09 September 2008

Pesan konyol (ternyata akhirnya benar) yang diucapkan mami saat aku pamitan berangkat kerja pertama adalah : "ya ati2, siapkan hati jadi orang tua. Jangan kaget saat dipanggil ibu".
Kata "ibu" memang sudah biasa aku dengar. Bahkan beberapa hari sebelumnya teman2ku biasa menggunakan kata "ibu" untuk "ngeledek" aku. Jadi aku menganggap pesan ini terlalu konyol.
Sesampai di tempat baru, aku sedikit gugup juga. Banyak mata memandang ke arahku. Mungkin mereka melihat aku sebagai makluk aneh saat itu. Atau mungkin mereka tidak pernah melihat sesosok guru secantik aku? (hehehe)
Bel awal pelajaran berbunyi. Dengan hati yang berdebar - debar akupun memasuki ruang kelas tempat aku alan "ngajar". Meskipun sudah biasa berhadapan dengan anak- anak, tapi saat itu aku merasa benar2 "deg-degan". Bukan anak2 yang membuat aku "deg-degan". Tapi status baruku.
Hem... "Slamat pagi anak - anak!" sapaku pada mereka.
"Selamat pagi Bu...!" sahut mereka.
Upss "bu". Ya mereka memanggil aku "ibu". Sepertinya waktu itu keringatku melebihi aliran sungai Bengawan Solo di musim kering derasnya. (halah..hiperbola banget sie...)
Ya tidak ada yang salah dengan kata2 itu. Sekali lagi, aku sudah biasa mendengar kata itu. Bahkan kata itu juga sudah biasa ditujukan kepadaku oleh teman2ku beberapa hari sebelumnya saat mereka "ngeledek" aku.
Tapi hari itu....
Kata2 itu bukan kata "ledekan". Kata2 itu diucapkan oleh anak2 yang memang sudah menjadi 'anak - anakku' .
Anak - anakku? Ya... mulai hari itu mereka adalah anak - anakku. Ya setidaknya untuk beberapa jam selama di sekolah :)
Aku jadi ingat sesuatu.
Beberapa tahun lalu, saat aku berdoa dengan sungguh2, bahkan mungkin bisa dikatakan bergumul. Saat aku berdoa bagi "anak-anak"ku, saat aku mengharapkan suatu kepastian masa depan bagi "anak - anak"ku. Waktu itu Tuhan dengan segera (saat itu juga), menjawab doaku. KataNya : "Semua anakmu akan menjadi murid Tuhan, dan besarlah kesejahteraan mereka" (Yesaya)
Hemm.. aku sempat sharingkan hal ini dengan teman2ku. Ya... lagi2 mereka menertawakan aku. Kata mereka aku terlalu buru - buru memikirkan anak - anakku. Harusnya suami dulu yang dipikirkan. Pacar dulu lah....baru memikirkan anak - anak. Ya... tidak salah juga sie.
Hem...lepas dari janji Tuhan bagi masa depan anak2ku. Saat itu aku berhadapan dengan puluhan anak yang memanggil aku "ibu". Dan itu tidak salah. Sekali lagi, aku adalah ibu mereka. Mengingat janji Tuhan lagi, mungkinkah mereka itu anak2 yang Tuhan berkati dalam doaku dulu ya.... mungkinkah mereka anak2 yang Tuhan katakan SEMUA ANAKMU, itu.
Lepas dari ya dan tidaknya, aku berharap mereka juga yang Tuhan maksud sebagai anak2ku. Dengan demikian, mereka juga berhak menerima janjiNYA. Menjadi murid Tuhan dan besar kesejahteraannya. Amin.

Minggu, 07 September 2008

Belajar dari Anak - Anak

"Ibu....tolong...!!" seorang anak putri berlari dan bersembunyi di belakang saya.
"Hayo Arga... tidak boleh nakal dengan temannya." leraiku ketika tahu anak putri tadi dikejar teman putranya yang siap melampiaskan emosi.
"Dia nakal duluan Bu... tadi dia "ngenyek" aku..." adu si anak yang putra.
"Benar begitu, Ajeng? " aku balik tanya kepada anak putri tadi.
"Tapi aku kan sudah minta maaf, Bu." jawab anak putri tadi.
"Ya sudah. Sekarang Ajeng minta maaf kembali. Arga, kalau temannya sudah minta maaf, seharusnya kamu mau memaafkan dia. Ayo sekarang salaman dan saling minta maaf!" aku menyarankan pada kedua anak tersebut untuk saling memaafkan. Merekapun kembali berdamai dan bermain bersama - sama lagi.

Ya..ini adalah hal yang terjadi hampir setiap hari. Anak berantem, menangis, kemudian kembali baikan. Begitu mudahnya seorang anak memaafkan temannya.
Memang banyak hal yang dapat dilakukan anak - anak, yang terkadang orang dewasa tak bisa melakukannya. Ketulusan mereka seringkali membuat saya iri.
Keberanian mereka menyatakan sebuah kebenaran juga patut dicontoh. Mungkin inilah yang menyebabkan anak - anak begitu istimewa bagi Tuhan.
Terlepas dari itu, kita tidak perlu malu untuk belajar banyak beberapa hal dari anak - anak. Karena memang banyak hal yang anak - anak mampu perbuat yang terkadang kita tidak bisa melakukannya. :)

Selasa, 02 September 2008

OUTBOND USIA 3 - 11 TAHUN

Sekitar 150 anak IO-975, dari usia 3 - 11 tahun mengikuti acara outbond di batalyon infantri 411 (Yonif 411)
Outbond kali mengambil tema kerja sama. Selain kerja sama, anak - anak juga dilatih agar selalu siap dan berani mengambil keputusanDengan senang dan semangatnya setiap peserta ,mengikuti setiap game yang sebagian besar digarap oleh team outbond dari 411.
Game yang paling disukai oleh anak - anak adalah flying fox. Meskipun ada beberapa anak yang takut mengikuti game tersebut, namun pada akhirnya mereka menjadi berani setelah mendapat dorongan semangat dari team outbond. Apalagi setelah mereka menyaksikan saya(meski sebenarnya ngeri juga) meluncur dari menara.
Anak - anakpun menjadi lebih semangat dan berani mengikuti game ini. Banyak game lain yang membuat anak - anak merasa puas mengikuti outbond kali ini.